Oleh Ustadz Toto Tasmara
Akhir perjalanan sudah pasti, sedangkan bekal belum lagi terisi. Maka, jika napas masih berdesah dan mentari masih hangat dirasakan, tak perlu berkeluh kesah meratapi masa lalu yang telah pergi. Tak juga berkhayal melukis langit tiada bertepi. Masa lalu adalah lembaran kertas yang telah terbakar yang tidak meninggalkan apa pun, kecuali kenangan keceriaan atau pahit getirnya pengalaman. Hari kemarin telah berlalu, hari esok belum lagi tentu. Maka, anggap saja hidup kita hanyalah hari ini, agar diri kita sibuk mengisi bekal menuju hari nanti. Kekasih abadi mengetuk nurani, "Hai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang dipersiapkannya untuk hari esok ...." (59: 18).
Sambil mempersiapkan bekal, seorang yang hatinya berpaut cinta Ilahi akan melepaskan pandangannya sejenak ke masa lalu, membuka album tua yang telah kusam. Bukan untuk berhenti atau terperangkap dalam nostalgia tanpa prestasi, melainkan sebagai penyegar semangat dengan menimba pengalaman membaca sejarah. Sungguh sudah berlalu sunah-sunah Allah untuk menjadi berita pelajaran bagi orang-orang yang beriman. (QS Ali Imran [3]: 137).
Membaca sejarah berarti menimba hikmah untuk dijadikan pedang kelewang menebas segala kebodohan dan kebatilan. Dan sejatinya, cara kita menyikapi sejarah harus bertanya, "Mengapa, bagaimana, dan apa akibatnya? Bukan hanya berhenti pada siapa, kapan, dan di mana?"
Kita harus mampu menganalisis dengan bertanya. Mengapa peristiwa itu terjadi? Bagaimana caranya agar hal-hal yang tidak kita inginkan dapat kita hindari? Apa akibat atau risikonya bagi eksistensi dan keberhasilan cita-cita kita?
Dengan pendekatan seperti ini, sejarah akan menjadi inspirasi dan motivasi unggul untuk menghasilkan prestasi "ulil al-bab" sebagai bentuk pertanggungjawaban manusia dalam kedudukannya sebagai khalifah fil ardhi (divine vicegerency).
Hanya bangsa yang besar yang memahami makna kesejarahannya. Dan bangsa yang memutus tali kesejarahannya akan lenyap ditelan gelombang peradaban yang tak kenal belas kasihan. Berbekal sejarah, ia tak kenal rasa takut menatap masa depan. Karena bagi dirinya, setiap hari adalah saat terbaik mengerahkan segala potensi meraih prestasi. Hari ini tidak bisa digugat. Sepiring nasi yang terhidang hari ini lebih berarti dari emas permata di hari esok. Ya, hari inilah milikmu. Bukankah ada pepatah indah, "Bekerjalah kamu seakan kamu akan hidup selamanya dan beribadahlah kamu seakan kamu akan mati esok hari."
Karena milikmu hanya ada di hari ini, maka tebarkanlah benih amal manfaat betapa pun esok bekal kiamat tak ada kata henti menikam hasrat. Tetaplah optimistis menanti semburat cahaya mentari. Orang optimis itu sungguh jauh dari sifat berkeluh kesah. Karena, ratapan penyesalan hanya merobek jiwa dan menambah sesaknya dada. Mereka yakin, pada setiap bercak dosa dan nista sesunguhnya selalu ada pintu-pintu pengampunan-Nya. Di setiap penyakit ada obatnya. Di setiap kegagalan ada sukses yang menunggu. Maka tetaplah optimistis.
Republika.co.id
Akhir perjalanan sudah pasti, sedangkan bekal belum lagi terisi. Maka, jika napas masih berdesah dan mentari masih hangat dirasakan, tak perlu berkeluh kesah meratapi masa lalu yang telah pergi. Tak juga berkhayal melukis langit tiada bertepi. Masa lalu adalah lembaran kertas yang telah terbakar yang tidak meninggalkan apa pun, kecuali kenangan keceriaan atau pahit getirnya pengalaman. Hari kemarin telah berlalu, hari esok belum lagi tentu. Maka, anggap saja hidup kita hanyalah hari ini, agar diri kita sibuk mengisi bekal menuju hari nanti. Kekasih abadi mengetuk nurani, "Hai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang dipersiapkannya untuk hari esok ...." (59: 18).
Sambil mempersiapkan bekal, seorang yang hatinya berpaut cinta Ilahi akan melepaskan pandangannya sejenak ke masa lalu, membuka album tua yang telah kusam. Bukan untuk berhenti atau terperangkap dalam nostalgia tanpa prestasi, melainkan sebagai penyegar semangat dengan menimba pengalaman membaca sejarah. Sungguh sudah berlalu sunah-sunah Allah untuk menjadi berita pelajaran bagi orang-orang yang beriman. (QS Ali Imran [3]: 137).
Membaca sejarah berarti menimba hikmah untuk dijadikan pedang kelewang menebas segala kebodohan dan kebatilan. Dan sejatinya, cara kita menyikapi sejarah harus bertanya, "Mengapa, bagaimana, dan apa akibatnya? Bukan hanya berhenti pada siapa, kapan, dan di mana?"
Kita harus mampu menganalisis dengan bertanya. Mengapa peristiwa itu terjadi? Bagaimana caranya agar hal-hal yang tidak kita inginkan dapat kita hindari? Apa akibat atau risikonya bagi eksistensi dan keberhasilan cita-cita kita?
Dengan pendekatan seperti ini, sejarah akan menjadi inspirasi dan motivasi unggul untuk menghasilkan prestasi "ulil al-bab" sebagai bentuk pertanggungjawaban manusia dalam kedudukannya sebagai khalifah fil ardhi (divine vicegerency).
Hanya bangsa yang besar yang memahami makna kesejarahannya. Dan bangsa yang memutus tali kesejarahannya akan lenyap ditelan gelombang peradaban yang tak kenal belas kasihan. Berbekal sejarah, ia tak kenal rasa takut menatap masa depan. Karena bagi dirinya, setiap hari adalah saat terbaik mengerahkan segala potensi meraih prestasi. Hari ini tidak bisa digugat. Sepiring nasi yang terhidang hari ini lebih berarti dari emas permata di hari esok. Ya, hari inilah milikmu. Bukankah ada pepatah indah, "Bekerjalah kamu seakan kamu akan hidup selamanya dan beribadahlah kamu seakan kamu akan mati esok hari."
Karena milikmu hanya ada di hari ini, maka tebarkanlah benih amal manfaat betapa pun esok bekal kiamat tak ada kata henti menikam hasrat. Tetaplah optimistis menanti semburat cahaya mentari. Orang optimis itu sungguh jauh dari sifat berkeluh kesah. Karena, ratapan penyesalan hanya merobek jiwa dan menambah sesaknya dada. Mereka yakin, pada setiap bercak dosa dan nista sesunguhnya selalu ada pintu-pintu pengampunan-Nya. Di setiap penyakit ada obatnya. Di setiap kegagalan ada sukses yang menunggu. Maka tetaplah optimistis.
Republika.co.id